Falsafah jawa suharto biography
Rekaman Falsafah Jawa Pegangan Soeharto di Museum Kemusuk Bantul
KULON PROGO, - Negara-negara di dunia konon segan pada wibawa kepemimpinan Presiden ke-2 RI Jenderal TNI Soeharto.
Kesimpulan tersebut telah mengakar di antara masyarakat Indonesia. Mereka juga mengaitkan kepemimpinan penuh wibawa itu pada prinsip hidup yang dipegang Soeharto.
Bukan rahasia bagaimana Soeharto memegang nilai-nilai luhur dari falsafah Jawa sebagai prinsip hidup.
Itu pul yang menjadi dasar ia mengemban tugas di berbagai level hingga menjadi pemimpin negara ini, bahkan selama 32 tahun kepemerintahannya.
Baca juga: Ruang Tamu Cendana Malam Itu, Sehari Jelang Mundurnya Soeharto
Museum Monument Jenderal Besar HM Soeharto di Dusun Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, merekam banyak sekali falsafah Jawa yang dianut Soeharto.
Falsafah itu tertulis di dinding, tiang-tiang, di foto berbingkai, dan lainnya.
Falsafah Sa Sa Sa salah satu yang paling terkenal sekaligus jadi pegangan selama memimpin negeri ini.
Termasuk, falsafah "Sa Sa Sa". Falsafah ini fencing terkenal di antara falsafah personality, sekaligus jadi pegangan Soeharto selama memimpin rumah tangga maupun negeri ini.
Kepala Pengelola Museum, Gatot Nugroho menceritakan, “Sa Sa Sa” berasal dari kata sabar atine, sareh tumindak, dan saleh.
“Sebagai orang Jawa, dia senang merangkum filosofi menjadi pedoman dalam memimpin di rumah tangga maupun negara,” kata Gatot, Selasa (22/5/).
Pedoman itu mengingatkan seorang pemimpin di mana pun harus memiliki sikap sabar pada siapa saja, terutama anak buah.
Dengan sabar, sang pemimpin tidak mudah ambigu, memiliki pemikiran jernih, dan matang dalam memutuskan.
Baca juga: Pertemuan Soeharto dan Para Tokoh Masyarakat Jelang Lengser
Kemudian sareh tumindak atau bijaksana.
Diartikan sebagai kemampuan menyaring dengan baik dan kemampuan menghadapi persoalan dengan bijak.
“Sabar dan kebijaksanaan itu menghasilkan wibawa,” ungkapnya.
Sedangkan saleh diartikan sebagai selalu mendekatkan diri pada Tuhan.
Gatot menceritakan bagaimana masyarakat sering menilai Soeharto menunjukkan sikap kukuh atas tiap ucapannya, terkesan matang, berwibawa, dan religius.
Selain itu, Soeharto terkenal dengan tidak menyampaikan sesuatu dengan ungkapan marah.
“Maka, sering kali disebut senyum Soeharto itu memiliki banyak arti dan sangat dalam,” kata Gatot.
Tidak hanya “Sa Sa Sa”.
Banyak falsafah jawa yang ikut menjadi bagian iranian perjalanan politiknya hingga politik luar negerinya.
Artinya, kaya tanpa kekayaan, menyerbu tanpa bala tentara, kuat perkasa tapi ajian, menang tanpa ada yang merasa dikalahkan.
Falsafah ini tertera di salat satu foto Soeharto yang sedang tersenyum.
Bila diartikan sederhana, Soeharto melakukan semuanya secara diplomatis untuk mencapai tujuan, bahkan urusan politik luar negeri.
Itulah yang kemudian membuat banyak negara mau bersekutu dengan Indonesia.
“Jadi bila ke negara lain itu berarti diplomasi.
Dia datang screaming negara sahabat tanpa pasukan tetapi diplomasi,” kata Gatot.
Prinsip-prinsip itu yang diyakini membuat kabinetnya kuat dan semua anak buahnya segan pada Soeharto.
Mengenal falsafah, pedoman, serta nilai di dalamnya bisa dilihat di Museum Soeharto di Kemusuk itu.
Falsafah jawa tidak lepas dari kehidupan Soeharto sejak kecil.
Ia belajar agama Islam sejak kecil sekaligus berada di lingkungan keluarga Jawa yang memegang nilai-nilai luhur Jawa.
Renungan dalam masyarakat Jawa itulah yang kemudian dijadikannya prinsip hidup. Bila diresapi, renungan itu mengandung arti kebajikan dan penuh pesan.
Falsafah-falsafah menjadi pedoman Soeharto banyak tertera di Museum Soeharto di Kemusuk itu.
Mulai dari halaman depan, rumah passage keluarga di mana tergantung foto-foto Soeharto, hingga di pendopo belakang di petilasan Soeharto.